Selasa, 21 Maret 2017

AKAD WAKALAH



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah muamalah (akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah mu’amalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Dari sekian banyak akad atau transaksi yang ada, salah satunya adalah akad al-Wakalah. Dalam makalah yang kami susun dengan penuh keterbatasan ini mencoba sedikit menjelaskan apa itu wakalah.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari wakalah?
2. Apa saja dasar hukum dari wakalah?
3. Bagaimana rukun wakalah dan apa saja syarat-syaratnya?

C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah karena mengingat wakalah merupakan cabang ilmu dari mu’amalah dan wajib bagi kita agar bermuamalah secara sah menurut islam, maka tujuan penulisan ini sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari wakalah.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum dari wakalah.
3.      Untuk mengetahui rukun dan syarat-syarat wakalah.


1
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Wakalah
Wakalah memiliki beberapa pengertian dari segi bahasa, diantanya yaitu al-hifdz (perlindungan), at-tafwid (penyerahan), dan pendelegasian atau pemberian mandat. menurut istilah syar’i wakalah ialah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. Tentu dalam hal perwakilan yang boleh diwakilkan.
Wakalah menurut istilah, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Malikiyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu”.
Hanafiyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Seseorang menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan)”.
Ulama syafi’iyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Suatu ibarah seorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya”.
Hanabilah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Permintaan ganti seseorang yang membolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak lain, yang di dalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia”.
         Ibnu Arfah menyatakan bahwa al wakalah terjadi apabila satu pihak menunjuk pihak yang lain untuk melalkukan suatu pekerjaan dalam urusan tertentu. Dalam hal ini, seorang yang telah diberikan hak perwakilan diperbolehkan melakukan apa saja yang boleh di lakukan oleh pihak yang memberikan perwakilan, seperti melakukan kontrak, menagih dan memberikan hutang/pinjaman atau melepaskannya. Asy Syafi'i mejelaskan  akad al wakalah ini sebagai perwakilan seseorang  untuk menyerahkan apa yang dilakukannya kepada orang lain.
Dari beberapa pengertian ulama di atas, dapat ditarik kesimpulan secara umum bahwa wakalah pada intinya merupakan pelimpahan kekuasaan atau wewenang oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal tertentu yang dapat diwakilkan dengan suatu akad tertentu pula. Pelimpahan kekuasaan tersebut dilakukan oleh pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam melakukan sesuatu berdasarkan kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, akan tetapi apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan maka semua resiko dan tanggung jawab sepenuhnya kembali menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
2
Ada beberapa jenis wakalah, antara lain:
1. Wakalah al muthlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batasan waktu dan untuk segala urusan.
2. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukkan wakil untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3. Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al muqayyadah tetapi lebih sederhana dari al muthlaqah.

B.     Dasar Hukum Wakalah
Islam mensyari’atkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan urusan tertentu kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Dalam hal ini wakalah ditetapkan boleh dilakukan dan diakui sebagai ikatan kontrak yang disyariatkan. Dari dasar hukum ibahah (diperbolehkan), al-wakalah bisa memiliki muatan sunnah, makruh, haram atau bahkan wajib, sesuai dengan motif pemberi kuasa, pekerjaan yang dikuasakan atau faktor lain yang melingkupi.

Al-Wakalah merupakan jenis kontrak ja'iz min at-tharafain, yakni bagi kedua pihak berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka menghendaki. Pemberi kuasa (al-muwakkil) berhak mencabut kuasa dan menghentikan penerima kuasa (al-wakil) dari pekerjaan yang dikuasakan. Begitu pula sebaliknya, bagi penerima kuasa (al-wakil) berhak membatalkan dan mengundurkan diri dari kesanggupannya menerima kuasa.
Dasar Penetapan Al-Wakalah
Al-Wakalah terkonsep dalam syariah berlandaskan beberapa macam dalil, antara lain :
1. Al-Qur’an
Q.S. Al-Kahfi (18) ayat ke 19 :
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا


3
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Maksudnya dari ayat tersebut yaitu hanya Allah-lah yang lebih mengetahui urusan kalian. Se­akan-akan terjadi kebimbangan di kalangan mereka tentang lamanya masa tidur mereka, hanya Allah yang lebih mengetahui. Kemudian akhir­nya mereka mengalihkan perhatiannya kepada urusan yang lebih penting bagi mereka saat itu, yaitu mencari makanan dan minuman untuk mereka, karena mereka sangat memerlukannya. Untuk itu mereka berkata:
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ
Maka suruhlah salah seorang di antara kita pergi ke kota dengan membawa uang perak kita ini. (Al-Kahfi: 19).
Yaitu uang perak kalian ini. Demikian itu karena saat mereka pergi memba­wa sejumlah uang dirham perak dari rumahnya masing-masing untuk bekal keperluan mereka. Di tengah jalan mereka menyedekahkan sebagiannya, dan sisanya mereka bawa. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ
Maka suruhlah salah seorang di antara kalian pergi ke kota dengan membawa uang perak kalian ini. (Al-Kahfi: 19)
Yakni kota yang telah kalian tinggalkan.
Alif dan lam dalam lafaz Al-Madinah menunjukkan makna 'Ahd, yakni sudah diketahui oleh lawan bicara, yaitu kota bekas tempat tinggal mereka.
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا
dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik. (Al-Kahfi: 19)
yang dimaksudkan adalah hanyalah makanan yang halal lagi baik, tanpa memandang sedikit atau banyaknya.


4
Firman Allah Swt.:
وَلْيَتَلَطَّفْ
dan hendaklah dia berlaku lemah lembut. (Al-Kahfi: 19)
Yakni bersikap ekstra hati-hati dalam pulang perginya dan saat berbelanja. Mereka mengatakan bahwa hendaklah ia menyembunyikan identitas pri­badinya dengan segala upaya yang mampu dilakukannya.
وَلا يُشْعِرَنَّ
dan janganlah sekali-kali menceritakan hal kalian. (Al-Kahfi: 19)
Artinya, jangan sampai ada orang yang mengetahui tentang hal ikhwal kalian.

Q.S. An-Nisaa (4) ayat ke 35 :                                                                                     
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Dalam pembahasan pertama disebutkan bilamana nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam pembahasan ini disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan juga dan persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua pasangan yang sedang bersengketa itu. Kemudian

5
keduanya melakukan hal yang lebih maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu sebagai suami istri. Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya:
إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا
Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal dari kalangan keluarga si perempuan. Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk. Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya, dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah. Jika yang berbuat buruk adalah pihak perempuan. maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah. Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri, hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai hakam." Ma'mar melanjutkan kisahnya, bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua boleh menghimpunnya kembali. Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Aqil ibnu Abu Talib kawin dengan Fatimah binti Atabah ibnu Rabi'ah. Maka Fatimah binti Atabah berkata, "Kamu ikut denganku dan aku bersedia menafkahimu." Tersebutlah apabila Aqil masuk menemui istrinya, istrinya berkata, "Di manakah Atabah ibnu Rabi'ah dan Syaibah ibnu Rabi'ah?" Lalu Aqil menjawabnya, "Di sebelah kirimu di neraka jika kamu memasukinya." Mendengar jawaban itu Fatimah binti Atabah merapikan bajunya, lalu datang kepada Khalifah Usman dan menceritakan kepadanya perihal suaminya itu. Maka Khalifah Usman tertawa, lalu mengutus Ibnu Abbas dan Mu'awiyah untuk melerai keduanya.
6
Ibnu Abbas berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar akan memisahkan keduanya." Lain halnya dengan Mu'awiyah, ia mengatakan.”Aku tidak akan memisahkan di antara dua orang dari kalangan Bani Abdu Manaf." Ketika Ibnu Abbas dan Mu'awiyah datang kepada keduanya, ternyata mereka berdua menjumpai pintu rumahnya tertutup bagi mereka. Akhirnya Ibnu Abbas dan Mu'awiyah kembali.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ubaidah yang menceritakan bahwa ia pernah menyaksikan sahabat Ali kedatangan seorang wanita dan seorang lelaki (suami istri). Masing-masing dari keduanya diiringi oleh sejumlah orang. Akhirnya Khalifah Ali mengangkat salah seorang dari suatu rombongan sebagai hakam, dan dari rombongan yang lain seorang hakam lagi. Kemudian ia berkata kepada kedua hakam itu, "Tahukah kalian, apakah yang harus kalian kerjakan? Sesungguhnya kewajibanmu adalah jika kamu berdua meiihat bahwa kedua pasangan itu sebaiknya dikumpulkan, maka kamu harus menyatukannya kembali." Pihak wanita berkata, "Aku rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah." Pihak laki-laki berkata, "Aku tidak mau berpisah." Khalifah Ali berkata, "Kamu dusta, demi Allah, kamu tidak boleh meninggalkan tempat ini sebelum kamu rela dengan keputusan apa pun berdasarkan Kitabullah."' Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui Ya'qub, dari Ibnu Ulayyah. dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang semisal. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui jalur lain, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah, dari Ali dengan lafaz yang sama.
Para ulama sepakat bahwa dua orang hakam diperbolehkan menyatukan dan memisahkan, hingga Ibrahim An-Nakha'i mengatakan.”Jika dua orang hakam menghendaki perpisahan di antara pasangan yang bersangkutan, keduanya boleh menjatuhkan sekali talak, atau dua kali talak, atau tiga kali talak secara langsung." Pendapat ini menurut riwayat yang bersumber dari Imam Malik.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dua orang hakam mempunyai hak sepenuhnya untuk mempersatukan pasangan yang bersangkutan, tetapi tidak untuk memisahkannya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Zaid ibnu Aslam. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Saur, dan Imam Daud.
Dalil mereka ialah firman Allah Swt. yang mengatakan: Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (An-Nisa: 35) Ternyata dalam ayat ini tidak disebutkan masalah memisahkan suami istri yang bersangkutan.
Jika kedua orang tersebut sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka hukum yang ditetapkan keduanya dapat dilaksanakan, baik yang menyimpulkan menyatukan kembali ataupun memisahkan keduanya, tanpa ada seorang ulama pun yang memperselisihkannya.
7
Para Imam berselisih pendapat sehubungan dengan kedua hakam ini, apakah keduanya diangkat oleh hakim, karenanya mereka berdua berhak memutuskan perkara, sekalipun pasangan suami istri yang bersangkutan tidak puas? Ataukah keduanya berkedudukan sebagai wakil dari masing-masing pihak yang bersangkutan? Sebagai jawabannya ada dua pendapat.
Jumhur ulama cenderung kepada pendapat yang pertama tadi, karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. (An-Nisa: 35)
Dalam ayat ini keduanya dinamakan hakam, dan sudah sepantasnya bagi hakam menetapkan keputusannya, sekalipun yang dikenai keputusannya tidak puas. Pendapat ini merupakan makna lahiriah ayat.
Sedangkan menurut qaul jadid dari mazhab Syafii  juga menurut pendapat Imam Abu Hanifah serta semua murid-muridnya cenderung kepada pendapat yang kedua, karena berdasarkan kepada perkataan Khalifah Ali r.a. kepada seorang suami yang mengatakan, "Aku tidak menginginkan perpisahan," lalu Ali r.a. berkata, "Kamu dusta, sebelum kamu mengakui seperti pengakuan yang dilakukan oleh istrimu." Mereka mengatakan, "Seandainya kedua orang tersebut benar-benar hakam. niscaya tidak diperlukan adanya ikrar dari pihak suami."
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa para ulama sepakat dua orang hakam itu apabila pendapat keduanya berbeda, maka pendapat pihak lain tidak dianggap. Tetapi mereka sepakat bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut penyatuan kembali, sekalipun pihak suami istri yang bersangkutan tidak mengangkat keduanya sebagai wakil dari masing-masing pihak.
Mereka berselisih pendapat, apakah pendapat keduanya dapat dilaksanakan bila menyangkut masalah perpisahan? Kemudian diriwayatkan dari jumhur ulama bahwa pendapat keduanya dapat dilaksanakan sehubungan dengan masalah perpisahan ini, sekalipun tanpa perwakilan (dari suami istri yang bersangkutan).

2. Al-Sunnah:
Banyak hadis menjadi landasan keabsahan al-wakalah, di antaranya:
HR. Ahmad dari Abi Rafi’, mengatakan:
 “Bahwasanya Rasulullah menikahi Maimunah dalam keadaan halal, dan menggaulinya dalam keadaan halal, dan aku adalah delegasi antara keduanya”.
Bahwasanya Rasulullah Saw mewakilkan kepada Abu Rafi’i dan seorang Anshar untuk mewakili mengawini Maimunah binti alHarits. (HR. Malik).
8
Dari Jabir ra berkata, aku keluar hendak pergi ke Khaibar, lalu aku datang kepada Rasulullah saw., aku katakan kepada Beliau, “Sungguh aku ingin keluar ke Khaibar”. Lalu Beliau bersabda, "Bila engkau datang pada wakilku di Khaibar, maka ambillah darinya 15 wasaq." (HR. Abu Daud)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah mewakilkan kepada orang lain dalam menangani berbagai urusan. Membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan pembayarannya, mewakilkan penanganan unta, pendelegasian dakwah, dan lain sebagainya merupakan contoh konkrit diakuinya al-wakalah di masa Nabi.
3.      Ijma’
Para ulama pun sepakat dengan ijma, bahwa wakalah diperbolehkan. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunahkan dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan jenis ta’awun (tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh al-Qur'an dan disunnahkan oleh Rasul.
Dalam perkembangan fiqih Islam, status wakalah terjadi perbedaan pendapat :
a)  Pendapat pertama menyatakan bahwa nia’bah atau mewakili. Menurut pendapat ini si wakil tidak adpat menggantikan seluruh fungsi muwakil
b) Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah, karena khilafah (menggantikan) di bolehkan untuk yang menyerahkan kepada yang lebih baik. Sebagaimana dalam jual beli, melakukan pemabayaran secara tuai lebih baik walaupun diperkenankan secara kredit.

C.     Rukun dan Syarat-syarat Wakalah
Sesuatu hal yang penting, baik menyangkut ibadah maupun muamalah. Ketika seseorang akan melaksanakan harus memenuhi beberapa syarat dan rukun. Termasuk ketika seseorang akan melakukan wakalah maka harus memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun rukun dan syarat wakalah adalah sebagai berikut :
1.      Pemberi kuasa (al-muwakkil)

Seorang pemberi kuasa disyaratkan memiliki hak tasharruf (mempergunakan barang) secara sah atas bidang-bidang yang dikuasakan. Hal ini disesuaikan dengan persyaratan dalam bidang-bidang tersebut. Seperti halnya pemberian kuasa untuk membelanjakan harta, maka syarat bagi pemberi kuasa adalah memenuhi kualifikasi baligh, berakal dan berstatus ahli tasharruf, dan lain sebagainya. Hanya saja ada persoalan yang dikecualikan, yakni permasalahan orang buta yang meskipun pada dasarnya tidak sah melangsungkan transaksi jual beli karena keterbatasannya menilai barang dengan penglihatan, namun diperbolehkan mewakilkan orang lain melangsungkan jual beli.
9
2.      Penerima kuasa (al-wakil)
Sebagaimana pemberi kuasa, penerima kuasa juga disyaratkan memiliki hak tasharruf secara sah atas bidang-bidang yang dikuasakan. Sehingga anak kecil dan orang gila tidak sah menjadi wakil. Orang buta juga tidak sah menjadi wakil dalam jual beli dan pekerjaan lain yang disyaratkan mampu melihat. Dikecualikan permasalahan mengirimkan hadiah, memberi ijin masuk rumah, dimana hal ini boleh diwakilkan kepada anak kecil yang sudah mencapai taraf tamyiz dan dapat dipercaya.
Seseorang yang menerima kuasa, disyaratkan harus mu’ayyan (jelas perseorangannya). Sehingga tidak sah mewakilkan pekerjaan pada salah satu dari dua orang tanpa ditunjuk secara jelas atau mengatakan, ”Aku wakilkan untuk menjual rumah ini kepada siapa saja yang menginginkan”. Kemudian, penerima kuasa juga harus memiliki sifat adil, apabila kuasa tersebut berasal dari seorang qadhi, atau saat menerima kuasa dari seorang wali untuk menjualkan harta orang-orang yang ada dalam tanggungannya.
3.      Sesuatu yang diwakilkan (al-muwakkal fihi)

a.       Obyek harus berbentuk pekerjaan yang pada saat dikuasakan menjadi hak pemberi kuasa (al-muwakkil). Sehingga tidak sah mewakilkan penjualan barang yang tidak dimiliki al-muwakil, atau akan dimilikinya. Kecuali mewakilkan penjualan barang yang akan dimiliki secara taba'i (mengikuti barang yang sudah ada dalam kepemilikan). Seperti, mewakilkan untuk menjual buah yang akan dikeluarkan pohon milik al-muwakkil. Meskipun buah belum ada, namun dinilai sah karena pohonnya dimiliki oleh al-muwakkil.
b.      Pekerjaan yang dikuasakan harus jelas spesifikasi dan kriterianya, meskipun hanya dari satu tinjauan. Hukumnya sah mengatakan, ”Aku mewakilkanmu untuk melunasi hutangku”, meskipun al-wakil tidak tahu persis hutang yang mana dan siapa saja yang menghutangi.
c.       Obyek harus dari jenis pekerjaan yang menerima untuk dikuasakan pada orang lain. Sehingga ulama berpendapat, tidak sah menguasakan sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah murni, seperti shalat dan puasa. Namun boleh menguasakan ibadah yang kemampuan badan menjadi syarat pelaksanaan, bukan syarat wajib, seperti haji dan umrah. Atau menguasakan hal-hal yang bersifat penyempurna dalam sebuah ibadah, seperti pembagian harta zakat pada mereka yang berhak

4.      Ucapan perwakilan (sighat)
Shighat yang dimaksud di sini lafadh mewakilkan yang merupakan bentuk kerelaan mewakilkan dan orang-orang mewakilkan menerima. Pengertian aqad menurut bahasa adalah ikatan yang diantara ujung sesuatu barang. Sedangkan menurut istilah para ahli fiqih ialah ijab qabul menurut cara yang disyari’atkan sehingga tampak akibatnya.
10
Akan tetapi dalam hal ini wakalah tidak mensyaratkan adanya lafazd tertentu namun aqad wakalah sah dengan apa saja yang dapat menunjukkan hal baik berupa ucapan maupun perbuatan. Serta untuk kedua belah pihak yang melakukan akaq boleh kembali dan men-fasahk-kan aqad dalam hal apa saja. Karena ia termasuk jenis aqad yang jaiz, artinya kezaliman. Sedangkan shigat menurut ijab qabul yang merupakan rukun wakalah harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Satu sama lain berhubungan di suatu tempat tanpa ada pemisah yang merusak.
b.      Ada kesepakatan antara ijab dan qabul pada barang dan saling dijual diantara mereka. berapa barang yang dijual dan harga barang. Jika keduanya tidak sepakat, maka wakalah (aqad) dinyatakan tidak sah. sebaliknya apabila keduanya menyatakan sepakat maka jual beli itu sah.
c.       Ungkapan harus menunjukkan masa lalu (madhi) seperti perkataan muwakil “aku rela mewakilkan” dan perkataan muwakil/wakil “aku telah terima” atau masa sekarang (mudhari) jika yang diinginkan pada masa yang akan datang dan semisal maka hal itu merupakan janji untuk beraqad tidaklah sebagai akaq yang sah secara hukum.  Perkataan atau ungkapan ijab qabul sesuai dengan adat dan kebiasaan, ungkapan tidak harus sama dan tiap-tiap daerah bisa berbeda. Adal ungkapan itu menunjukkan ikatan perwakilan yang baik. Adapun ungkapan lisan dalam ijab qabul bukanlah suatu jalan yang yang harus dipenuhi. Akan tetapi bisa dengan jalan seperti tulisan.

Hal-hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diwakilkan
Pada hakekatanya semua yang menyangkut hal-hal mengenai muamalah boleh diwakilkan. Menurut Sayyid Sabiq bahwa semua akad boleh diakadkan sendiri oleh manusia, boleh pula ia wakilkan kepada orang lain.  Sebagaimana dikemukakan di atas, dalam jual beli diberbolehkan seseorang mewakilkan orang lain untuk menjual atau membelikan sesuatu. Dalam hal ini boleh tanpa adanya ikatan harga tertentu, namun harus menjual dengan harga pasar tidak boleh berspekulasi, kecuali bila penjualan tersebut diridhai oleh yang mewakilkan. Namun Abu Hanifah berpendapat bahwa wakil tersebut boleh menjual sebagaimana kehendak wakil itu sendiri. Karena menurut Abu
Hanifah mewakilkan itu sifatnya mutlaq.
Namun bila yang mewakili tersebut sampai menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati dan penyimpanan tersebut dapat merugikan pihak yang diwakili, maka tindakan tersebut adalah batil menurut pandangan mazhab Syafi’i sedangkan menurut Hanafi tindakan tersebut tergantung pada kerelaan orang yang mewakilkan.
Ibadah bersifat badaniyah tidak boleh diwakilkan. Sedangkan dalam ibadah yang sifatnya pribadi tidak boleh diwakilkan, misalkan shalat dan puasa ramadhan. kecualai haji, menyembelih kurban, membagi zakat, puasa kifarat dan rakaat thawaf terakhir dalam haji menurut Imam Taqiyuddin dapat diwakilkan.
11
Dalam hal qishas para ulama masih berselisih dapatkah diwakilkan. Abu Hanifah dalam hal ini tidak membolehkan, kecuali orang yang mewakilkan hadir. Jika tidak hadir, tidak boleh, karena dialah yang berhak, jika ia hadir mungkin dapat dimaafkan karena itu ditangah ketidk jelasan ini pembayaran qishas tidak diperbolehkan. Sedangkan Imam Malik membolehkan sekalipun orang yang mewakilkan tidak hadir, pendapat ini juga didukung oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.

 Berakhirnya Kontrak Al-Wakalah
Wakalah merupakan suatu kesepakatan/perjanjian tertentu mengenai hal tertentu. Maka, pada saat tertentu dan dalam kondisi tertentu bisa saja berakhir. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terhentinya kontrak al-wakalah, yakni:
1. Al-Faskh (pembatalan kontrak)
Sebagaimana di atas bahwa al-wakalah adalah jenis kontrak ja'iz min at-tharafain, yakni bagi kedua pihak berhak membatalkan ikatan kontrak, kapanpun mereka menghendaki. Sehingga ketika al-muwakkil memberhentikan al-wakil dari kuasa yang dilimpahkan, baik dengan ucapan langsung, mengirim kabar atau surat pemecatan, maka status al-wakil sekaligus hak kuasanya saat itu juga dicabut. Hal ini berlaku baik al-wakil hadir atau tidak hadir, mendengar atau tidak mendengar tentang perihal pemecatannya. Dan apabila al-wakil sampai terlanjur melakukan tasharruf, maka dinilai batal, meskipun al-wakil belum menerima kabar pemecatan dirinya. Sebanding ketika pihak al-wakil yang mengundurkan diri dari kontrak, maka al-wakalah ditetapkan berakhir meskipun al-muwakkil belum mengetahuinya.
2 .Cacat kelayakan tasharruf-nya
Yakni ketika salah satu dari kedua belah pihak mengalami gila, ditetapkan safih (cacat karena menyia-nyiakan harta) atau falas (cacat karena harta tidak setimpal dengan beban hutang). Atau karena mengalami kematian, baik diketahui oleh pihak yang lain atau tidak.
3. Hilangnya status kepemilikan atau hak dari pemberi kuasa (al muwakkil).
Hal ini terjadi ketika al-muwakkil semisal menjual sepeda motor yang dikuasakan kepada al-wakil untuk disewakan, sepeda motor dicuri atau mungkin mengalami kerusakan total. Contoh al-muwakkil yang kehilangan haknya adalah wali yang mewakilkan penjualan harta milik anak kecil tanggungannya, kemudian di tengah berlangsungnya al-wakalah, anak kecil tersebut menginjak usia baligh.


12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Wakalah menurut bahasa artinya al-hifdz (perlindungan), at-tafwid (penyerahan), dan pendelegasian atau pemberian mandat. menurut istilah syar’i wakalah ialah akad perwakilan antara dua pihak, di mana pihak pertama mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas nama pihak pertama. Tentu dalam hal perwakilan yang boleh diwakilkan.
Secara umum bahwa wakalah pada intinya merupakan pelimpahan kekuasaan atau wewenang oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal tertentu yang dapat diwakilkan dengan suatu akad tertentu pula. Pelimpahan kekuasaan tersebut dilakukan oleh pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam melakukan sesuatu berdasarkan kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, akan tetapi apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan maka semua resiko dan tanggung jawab sepenuhnya kembali menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.
Dari jenisnya wakalah terbagi menjadi wakalah al muthlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak,Wakalah al muqayyadah dan Wakalah al ammah, dari tinjauan hukum, al-wakalah bisa memiliki muatan sunnah, makruh, haram atau bahkan wajib, sesuai dengan motif pelaku wakalah. Wakalah di tetapkan dengan dasar hukum yang bersumber dari Al-quran, As-sunnah  dan  ijam' ulama.
Rukun al-wakalah adalah adanya Al-Muwakkil (Pemberi kuasa), Al-Wakil (Penerima kuasa), Shighat (ucapan perwakilan) dan Al-Muwakkal fihi (obyek atau pekerjaan yang dikuasakan). Dan wakalah akan berakhir apabila di batalkan oleh kedua belah pihak, kedua belah pihak mengalami kecacatan tasharruf dan hilangnya status kepemilikan si pemberi kuasa.






13
DAFTAR PUSTAKA

Azka, Darul. Konsep dan Dasar-Dasar Al-Wakalah. majalahmisykat.blogspot.com, Januari, 2010.
Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Terjamahnya, Jakarta: Intermassa, 1986.
Ifham,Solihin, Ahmad. Ini Lho Bank Syari'ah. PT Grafindo Media Pratama, Jakarta, 2008.
Pasar Islam Bandung, bab 13 wakalah perwakilan,   www.warungghuroba.wordpress.com, September, 2010.
Rais, Isnawati dan Hasanuddin. Fiqh Muamalah dan Aplikasi pada Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamala., Jakarta: Rajawali Pers, 2002.
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Tafsir Ibnu Katsir, Kampungsunnah.org, 2013.